I. Ketukan di Pintu
Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya ketukan itu datang juga. Ketukan yang sebenarnya tidak pernah kutunggu. Tapi sekarang ia hadir. Hadir dari masa lalu yang gelapnya begitu pekat seperti ampas kopi ditelantarkan di langit malam. Hadir dari masa depan yang terangnya terlalu menyilaukan bak sinar matahari diteteskan ke lubuk mata. Hadir dari masa kini yang remangnya membuat jiwa mengambang dan keraguan kian menyerang.
Ketukan itu datang pada pintu kamarku. Terdengar begitu sopan sekaligus tergesa. Aku tak tahu kenapa aku begitu menikmati suaranya, sekaligus berusaha setengah mati menahan degup di dada. Setiap ketukan itu berbunyi, terlintas di kepalaku desing peluru dan ledakan mortir. Setiap itu pula, sebelah telingaku yang lain, mendengar desahan napas wanita yang basah dan menggoda. Aku ingin berhenti mendengarnya, tapi aku juga tak tahan untuk menunggu suara ketukan berikutnya.
Ketukan itu terdengar lagi. Dan semakin lama suaranya menjelma menjadi apa saja.
Aku mendengar tangisan bayi. Aku tak tahu itu tangisan apa. Apakah tangis seorang bayi yang baru lahir, atau tangis seorang bayi yang sedang lapar, atau sedang tersiksa oleh sesuatu. Aku tak bisa membedakannya. Sebab aku tak pernah memiliki bayi, ataupun mengurus bayi. Saat aku masih bayi tentu aku tak bisa mendengar suara tangisku sendiri. Aku bahkan belum memiliki kendali atas diriku, tubuh dan jiwaku. Aku masih dikendalikan oleh malaikat-malaikat yang diutus oleh Tuhan untuk mengawalku. Sementara sekarang saat aku sudah cukup waktu untuk membuat seorang bayi, istriku terlanjur dipanggil kembali oleh yang dahulu menciptakannya. Jadi tangis bayi apakah yang sedang kudengar ini? Bisakah kau memberitahuku?
Aku mendengar ketukan lain. Suara lain..
Kali ini aku yakin. Ini adalah suara seorang perempuan. Dan ia sedang tersiksa. Tapi aku tak tahu ia tersiksa karena apa. Mungkin disiksa suaminya, pacarnya, atau teman lelakinya. Tapi tidak, aku tidak mendengar ada suara lelaki. Hanya perempuan. Begitu lirih. Seakan ia tengah menghembuskan sisa-sisa terakhir suaranya. Aku bahkan bisa merasakan napasnya. Dihirup, dilepas.. dihirup, dilepas. Terdengar letih. Sesekali sesak. Aku jadi ikut-ikutan sesak mendengarnya. Ia seperti menahan tangis. Tapi ia tidak menangis. Hanya nyaris. Aku tahu, perempuan ini pastilah seorang perempuan yang kuat. Meski begitu, aku ingin sekali menolongnya. Tapi akan kutolong dia dari apa? Bisakah kau menolongku?
Ketukan itu seakan mati enggan hidup pun tak mau. Ia seperti dipaksa. Tapi juga terdengar bersungguh-sungguh. Apakah yang ia inginkan, aku juga tak tahu. Atau lebih tepatnya, belum tahu. Sebab belum kusambut ketukan itu. Masih kubiarkan ia mengulang-ulang dirinya di pintu kamarku. Aku ingin memastikan benarkah ketukan itu menujukan dirinya untuk pintuku ini. Ataukah ia salah pintu? Tidak, kurasa tidak. Karena berikutnya, aku mendengar suara ketukan itu sebagai ketukan palu seorang hakim mahkamah.
Kau tahu, ketukan palu seorang hakim mahkamah tak pernah salah.
II. Pintu Kamar
Adapun, pintuku itu tak pernah kukunci. Aku tak merasa perlu untuk mengunci pintu kamarku itu. Bukankah seseorang mengunci pintu kamarnya karena ada sesuatu di dalam sana yang ia tak ingin orang lain melihatnya? Bukankah mereka melakukannya karena ada sesuatu atau banyak hal yang hanya boleh ia sendiri yang menemukannya? Bukankah karena di dalam ruangan di balik pintu itu ada sebuah rahasia? Dan adapun aku, tak merasa perlu menyembunyikan apa-apa. Rahasiaku ada dalam diriku. Bukan di balik pintu itu, di ruang kamar ini.
Maka, siapapun di luar kamar yang tengah mengetuk pintu, masuklah ke dalam kamarku..
Tapi pintu kamarku tetap tak terbuka. Ketukan itu terus saja terdengar. Apakah ia tak mengetahui bahwa pintu kamarku tak pernah terkunci? Apalagi untuk ketukan yang terasa begitu akrab di telingaku ini. Siapakah gerangan engkau, wahai ketukan yang datang tiba-tiba di malam buta?
Aku meraih sebatang lilin yang berdiri agak miring di atas sebuah piring kaca kecil. Apinya bergoyang-goyang seperti seekor anjing peliharaan yang dipanggil majikannya, menggoyang-goyangkan ekornya. Kutiup ia. Padam. Kegelapan menjadi raja di dalam istananya yang sempit: kamarku.
Perlahan, aku berdiri. Setelah sekian lama terduduk di sudut kamar ini. Ketukan itu terdengar lagi dan lagi. Kulangkahkan kaki di atas lantai yang dingin. Sedingin angin malam yang menyusup beramai-ramai lewat celah di jendela. Bulu kudukku ikut berdiri. Disusul oleh gemetar di tempurung lutut dan bibirku. Gigi-gigiku bergemelutuk. Aku tak tahu apa yang tiba-tiba saja membuat udara menjadi demikian dingin ini: angin malam di musim hujan yang menerobos lewat jendela ataukah ketukan di pintu yang kian memperpendek jedanya.
III. Jendela
Mendekati pintu beberapa langkah, rasa takut dan penasaranku semakin menjadi-jadi. Aku berhenti pada langkah ke sekian. Jarakku dengan pintu hanya beberapa sentimeter. Ketukan itu mengubah suaranya menjadi seperti gong. Lalu seperti meriam perang. Kencang dan meledak. Aku bergidik. Aku terdiam sebentar. Mencoba menenangkan diri. Tak bisa. Sulit.
Kutengadahkan kedua tanganku, kutundukkan kepalaku, kupejamkan kedua mataku, untuk memohon kepada Tuhan. Aku meminta agar pintu itu direstui atas ketukan seperti apapun atau siapapun yang mengetuknya. Semoga dosa-dosa pintu yang tak kukunci itu dimaafkan dunia dan akhirat. Semoga pintu itu yang membiarkan apa saja atau siapa saja masuk dan keluar melaluinya diberi tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin.
Aku menatap pintu di depanku. Tengkukku dingin. Kupalingkan wajahku ke belakang: jendela kamarku ternyata cukup lebar.
Aku membalikkan badan. Melangkah ke depan. Di belakang masih terdengar suara ketukan. Seperti senjata otomatis, memberondong hingga puluhan, ratusan, ribuan! Jantungku tak keruan. Degupnya lari kemana-mana. Napasku kabur kemana-mana. Aku tak bisa berlari ke jendela.
Setelah napasku nyaris habis, aku berhasil meraihnya. Kuangkat sebelah kakiku yang lemah dan terasa nyaris seperti lumpuh. Kuangkat lagi sebelah yang lain. Lalu dengan sangat hati-hati, untuk pertama kalinya, kujejakkan kaki di luar kamar ini.
Dari balik jendela, aku menoleh lagi ke dalam kamar. Ke arah pintu. Ke suara ketukan itu. Aku tak mengunci pintu kamarku itu, tapi sekalipun ketukan itu tak mencoba untuk langsung membukanya saja. Sungguh, tak ada yang kusembunyikan. Tak ada sesuatu yang rahasia.
Tapi, kenapa sekarang aku berada di luar kamar, menjauhi pintu itu?
Malam kian lengkap. Angin kian menusuk. Di luar kamar, di ambang jendela, aku menawarkan sambutan kepada siapapun Dia yang sedari tadi mengetuk pintu: “Silahkan masuk.”
Maka pada ketukan terakhir, aku mengosongkan kamarku. Menyembunyikan dunia, menguburnya di dalam sana. Bertukar nyawa dengan baka usia.
“Selamat malam. Aku Tuhan. Kenapa lama sekali?” ***
sumber: http://bisikanbusuk.blogspot.com/search/label/fiksi
Minggu, 22 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar